Bahasa Indonesia dalam Budaya Populer: Antara Identitas dan Tren Global
Abstrak
Bahasa Indonesia hari ini bukan cuma dipakai di ruang kelas atau kantor pemerintahan, tapi juga hadir di panggung konser, film layar lebar, timeline media sosial, bahkan di kaos yang kita pakai sehari-hari. Ia tidak lagi sekadar alat komunikasi formal, melainkan bagian dari gaya hidup. Artikel ini membahas bagaimana Bahasa Indonesia berinteraksi dengan budaya populer, bagaimana tren global memengaruhinya, serta bagaimana kita bisa tetap menjaga identitas tanpa menutup diri dari dunia luar.
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, budaya populer, identitas, globalisasi, tren
Pendahuluan
Bahasa itu ibarat DNA sebuah bangsa. Ia merekam sejarah, nilai, dan identitas masyarakat yang menggunakannya. Di Indonesia, kita punya Bahasa Indonesia sebagai “rumah bersama” yang mempersatukan ratusan bahasa daerah dari Sabang sampai Merauke.
Menurut Chaer (2012), “Bahasa Indonesia merupakan simbol identitas nasional yang menyatukan keragaman etnis, budaya, dan daerah di Indonesia.” Kalimat ini mengingatkan kita bahwa bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga simbol eksistensi dan kebanggaan kolektif.
Namun, dunia kini bergerak cepat. Musik, film, media sosial, dan fashion jadi arena baru di mana bahasa terus bertransformasi. Bahasa Indonesia yang dulu diasosiasikan dengan ruang kelas atau forum resmi, sekarang jadi lebih cair dan hidup di jagat populer. Fenomena ini bikin Bahasa Indonesia tampil fleksibel, kreatif, dan dekat dengan generasi muda.
Pertanyaannya, apakah perubahan ini memperkuat identitas kita, atau justru bikin bahasa nasional tergeser oleh tren global?
Permasalahan
Fenomena budaya populer memang seru, tapi juga membawa tantangan:
- Posisi Bahasa Indonesia dalam budaya populer masih dominan atau mulai tersisih?
- Tren penggunaan bahasa asing sekadar gaya, atau ancaman bagi identitas nasional?
- Strategi apa yang bisa kita lakukan biar Bahasa Indonesia tetap relevan di era globalisasi?
Pembahasan
1. Bahasa Indonesia dalam Musik Populer
Musik adalah salah satu media paling kuat untuk membentuk identitas bahasa. Lirik lagu bisa memengaruhi cara generasi muda memandang bahasa mereka sendiri.
Siapa sih yang nggak kenal lagu-lagu Hindia, Nadin Amizah, atau Kunto Aji? Mereka membuktikan bahwa lirik berbahasa Indonesia bisa tetap puitis, emosional, sekaligus modern.
Di sisi lain, ada juga musisi yang mencampur Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris (code-switching) agar terdengar lebih global. Misalnya, dalam lagu-lagu pop urban, kita sering dengar campuran “aku” dengan “you”, atau “cinta” dengan “love”. Fenomena ini nggak bisa dianggap sepele, karena mencerminkan cara generasi sekarang berinteraksi dengan dua dunia sekaligus: lokal dan global.
Menurut Rahyono (2015:77), “Bahasa dalam karya seni tidak hanya menyampaikan makna, melainkan juga membangun citra budaya yang melekat di masyarakat.” Jadi, musik itu bukan cuma hiburan, tapi juga cara membangun citra siapa kita lewat bahasa yang dipakai.
2. Bahasa Indonesia di Media Sosial
Kalau bicara tentang budaya populer hari ini, nggak mungkin melewatkan media sosial. TikTok, Instagram, dan X (Twitter) jadi ruang paling ramai di mana bahasa terus berubah. Dari sana lahir kosakata gaul seperti gabut, mager, receh, bestie, atau healing. Awalnya, kata-kata ini dianggap “sampah bahasa” yang merusak aturan baku. Tapi nyatanya, istilah-istilah tersebut malah memperkaya khasanah ekspresi generasi muda.
Susanto (2020:105) menyebut fenomena ini sebagai bukti vitalitas bahasa: “Fenomena bahasa gaul di media sosial menunjukkan vitalitas Bahasa Indonesia, meskipun sering dipandang merusak kaidah formal.” Jadi, daripada melihat bahasa gaul sebagai musuh, lebih baik kita anggap sebagai bukti bahwa bahasa kita hidup, berkembang, dan adaptif.
Menariknya lagi, bahasa gaul ini sekarang dipakai brand besar dalam iklan. Misalnya, tagline makanan cepat saji yang berbunyi “Bikin mager jadi rajin” atau iklan aplikasi belanja online yang pakai kata “receh”. Artinya, apa yang lahir di media sosial bisa menjalar ke dunia industri dan budaya mainstream.
3. Bahasa Indonesia dalam Film dan Fashion
Film adalah media lain yang berperan penting. Film Indonesia kini semakin diterima di kancah internasional. Contohnya Pengabdi Setan, yang sukses di pasar Asia, atau Ngeri-ngeri Sedap, yang menggunakan bahasa daerah sekaligus bahasa nasional. Kehadiran bahasa lokal dalam film bukan sekadar hiasan, tapi juga representasi identitas budaya Indonesia yang beragam.
Kridalaksana (2010:90) menyebut, “Bahasa dalam film bukan hanya medium komunikasi, tetapi juga alat pelestarian budaya.” Jadi setiap kali sebuah film menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, sebenarnya ia sedang ikut menjaga memori kolektif bangsa.
Selain film, fashion juga ikut berperan. Tren kaos dengan kata-kata khas Bahasa Indonesia seperti “Mantul”, “Santuy”, atau “Anak Senja” menjadi bukti bahwa bahasa bisa dijadikan gaya hidup. Bahkan, sejumlah brand lokal mengangkat aksara Jawa, Sunda, atau Batak sebagai motif desain untuk menunjukkan kebanggaan terhadap identitas kultural. Ini membuktikan bahwa bahasa bukan hanya tentang bicara, tapi juga bisa dipakai sebagai simbol visual yang keren.
4. Tantangan Globalisasi
Tapi tentu saja, kita nggak bisa menutup mata terhadap tantangan besar bernama globalisasi. Hampir semua teknologi, aplikasi, hingga produk digital menggunakan bahasa Inggris. Mulai dari setting smartphone, aplikasi editing video, sampai tutorial YouTube, mayoritas pakai bahasa asing.
Akibatnya, banyak orang merasa lebih keren kalau mencampur kalimat dengan bahasa Inggris. Misalnya, daripada bilang “Aku sedang belajar”, orang lebih suka bilang “I’m still learning, bro.” Fenomena ini memang wajar di era global, tapi juga bisa jadi sinyal bahwa posisi Bahasa Indonesia mulai melemah di ranah populer.
5. Menjaga Identitas di Tengah Tren Global
Kalau mau Bahasa Indonesia tetap eksis, kita nggak bisa cuma mengandalkan aturan formal atau himbauan pemerintah. Perlu strategi kreatif dan kolaboratif. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
- Industri kreatif: Musik, film, game, dan konten digital perlu mengedepankan Bahasa Indonesia sebagai medium utama.
- Bahasa gaul: Jangan dianggap musuh, tapi diangkat ke ranah kreatif sehingga bisa jadi pintu masuk anak muda untuk bangga dengan bahasanya.
- Fashion dan lifestyle: Dorong lebih banyak brand lokal mengangkat kata atau frasa khas Indonesia sebagai bagian dari desain produk.
Bahasa daerah: Integrasi bahasa daerah dalam film, musik, dan konten populer akan membuat identitas bangsa makin kaya.
Kesimpulan
Bahasa Indonesia itu bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga simbol siapa kita. Di ranah budaya populer, ia berfungsi sebagai jembatan antara identitas lokal dan tren global. Memang, tantangan globalisasi dan dominasi bahasa asing cukup besar. Namun, peluang untuk menjadikan Bahasa Indonesia lebih relevan di era digital juga terbuka lebar.
Kuncinya adalah kreativitas dan kolaborasi. Selama generasi muda bangga mengekspresikan diri dengan bahasa mereka sendiri, maka Bahasa Indonesia akan tetap hidup, berkembang, dan bahkan bisa bersaing di level global.
Saran:
- Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan dukungan bagi konten kreatif lokal.
- Generasi muda harus bangga mengekspresikan diri dengan Bahasa Indonesia.
- Kolaborasi antara seniman, akademisi, dan industri kreatif wajib ditingkatkan supaya bahasa kita makin eksis di level global.
Daftar Pustaka
Modul 1 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. (2025). Universitas Mercu Buana.
Chaer, A. (2012). Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, H. (2010). Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Rahyono, F. X. (2015). Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya. Depok: UI Press.
Susanto, E. (2020). “Bahasa Indonesia di Era Globalisasi: Antara Identitas dan Eksistensi.” Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 5(2), 101–112.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar